Transaksi lintas batas menggunakan aset dan mata uang yang telah di-tokenisasi kini telah berlangsung secara nyata, namun gap hukum sedang menghambat laju ekspansi global.
Di konferensi SmartCon 2025 di New York, para pemimpin dari Citi, DTCC, dan Taurus menyatakan bahwa teknologi sudah siap, tetapi hukum antar negara masih kurang keseragaman, yang menyebabkan proses implementasi terhambat.
Ryan Rugg, Direktur Global Aset Digital di Citi Treasury and Trade Solutions, menyatakan bahwa platform Citi Token Services sedang beroperasi di AS, Inggris, Hong Kong, dan Singapura, memproses transaksi nyata senilai miliaran USD — dari pembayaran rantai pasokan hingga pembayaran pasar modal.
Namun, ekspansi ke banyak wilayah lain menghadapi tantangan karena Citi harus meminta izin secara terpisah di setiap negara. Tujuan, menurut Rugg, adalah membangun jaringan keuangan multi-bank dan multi-aset yang beroperasi secara mulus — “seperti cara email berfungsi saat ini” — tetapi regulasi belum mengizinkan.
Nadine Chakar, Direktur Global untuk Aset Digital di DTCC, mengatakan bahwa eksperimen “Great Collateral Experiment” baru-baru ini telah membuktikan bahwa penggunaan aset yang ditokenisasi — seperti obligasi pemerintah, saham, dan reksa dana pasar uang — sebagai jaminan lintas zona waktu adalah mungkin. Namun, hambatan terbesar saat ini bukan lagi teknologi, melainkan kepercayaan pasar dan kemampuan penegakan hukum.
Chakar memperingatkan: “Kita berbicara tentang kemampuan interoperabilitas (interoperability) dengan sangat mudah, tetapi pada kenyataannya, itu belum benar-benar berfungsi.”
Perusahaan saat ini menggunakan sistem tokenisasi terpisah dengan struktur hukum dan desain kontrak pintar yang berbeda. DTCC sedang bekerja sama dengan organisasi pembayaran global seperti SWIFT untuk membangun seperangkat standar umum, tidak harus menggunakan teknologi yang sama tetapi perlu ada “bahasa dan protokol” yang konsisten.
Co-founder of Taurus, Lamine Brahimi, urges American institutions to learn from Switzerland, which has perfected the legal and technical framework for tokenized assets. He warns that without coordination, financial institutions will face the risks of fragmentation, security vulnerabilities, and high compliance costs.
Para ahli sepakat bahwa proses globalisasi tokenisasi akan terjadi secara bertahap: dalam jangka pendek, infrastruktur (wallet-based) akan berjalan seiring dengan sistem akun tradisional; dalam jangka panjang, dompet digital dapat menjadi standar baru.
Meskipun infrastruktur sudah siap, “kereta tidak akan bisa berjalan jika aspek hukum belum dapat mengikuti,” kata Chakar.
Lihat Asli
Halaman ini mungkin berisi konten pihak ketiga, yang disediakan untuk tujuan informasi saja (bukan pernyataan/jaminan) dan tidak boleh dianggap sebagai dukungan terhadap pandangannya oleh Gate, atau sebagai nasihat keuangan atau profesional. Lihat Penafian untuk detailnya.
Citi: Tokenisasi aset telah siap secara global tetapi hukum belum mengikuti
Transaksi lintas batas menggunakan aset dan mata uang yang telah di-tokenisasi kini telah berlangsung secara nyata, namun gap hukum sedang menghambat laju ekspansi global.
Di konferensi SmartCon 2025 di New York, para pemimpin dari Citi, DTCC, dan Taurus menyatakan bahwa teknologi sudah siap, tetapi hukum antar negara masih kurang keseragaman, yang menyebabkan proses implementasi terhambat.
Ryan Rugg, Direktur Global Aset Digital di Citi Treasury and Trade Solutions, menyatakan bahwa platform Citi Token Services sedang beroperasi di AS, Inggris, Hong Kong, dan Singapura, memproses transaksi nyata senilai miliaran USD — dari pembayaran rantai pasokan hingga pembayaran pasar modal.
Namun, ekspansi ke banyak wilayah lain menghadapi tantangan karena Citi harus meminta izin secara terpisah di setiap negara. Tujuan, menurut Rugg, adalah membangun jaringan keuangan multi-bank dan multi-aset yang beroperasi secara mulus — “seperti cara email berfungsi saat ini” — tetapi regulasi belum mengizinkan.
Nadine Chakar, Direktur Global untuk Aset Digital di DTCC, mengatakan bahwa eksperimen “Great Collateral Experiment” baru-baru ini telah membuktikan bahwa penggunaan aset yang ditokenisasi — seperti obligasi pemerintah, saham, dan reksa dana pasar uang — sebagai jaminan lintas zona waktu adalah mungkin. Namun, hambatan terbesar saat ini bukan lagi teknologi, melainkan kepercayaan pasar dan kemampuan penegakan hukum.
Chakar memperingatkan: “Kita berbicara tentang kemampuan interoperabilitas (interoperability) dengan sangat mudah, tetapi pada kenyataannya, itu belum benar-benar berfungsi.”
Perusahaan saat ini menggunakan sistem tokenisasi terpisah dengan struktur hukum dan desain kontrak pintar yang berbeda. DTCC sedang bekerja sama dengan organisasi pembayaran global seperti SWIFT untuk membangun seperangkat standar umum, tidak harus menggunakan teknologi yang sama tetapi perlu ada “bahasa dan protokol” yang konsisten.
Co-founder of Taurus, Lamine Brahimi, urges American institutions to learn from Switzerland, which has perfected the legal and technical framework for tokenized assets. He warns that without coordination, financial institutions will face the risks of fragmentation, security vulnerabilities, and high compliance costs.
Para ahli sepakat bahwa proses globalisasi tokenisasi akan terjadi secara bertahap: dalam jangka pendek, infrastruktur (wallet-based) akan berjalan seiring dengan sistem akun tradisional; dalam jangka panjang, dompet digital dapat menjadi standar baru.
Meskipun infrastruktur sudah siap, “kereta tidak akan bisa berjalan jika aspek hukum belum dapat mengikuti,” kata Chakar.